Jumat, 10 Agustus 2012

Kisah remaja S menentang kerasnya kehidupan Jakarta

Hidup di Jakarta itu keras kawan! Begitulah penggalan kalimat yang sering terdengar ketika menggambarkan kondisi kehidupan sosial di Jakarta. Tak hanya orang dewasa saja yang merasakan sulitnya hidup di Jakarta, remaja bahkan bocah ingusan pun ikut memutar otak untuk mencari uang agar bertahan hidup di metropolitan ini.

Mau tidak mau, suka tidak suka, kondisi itu tidak bisa dipungkiri. Di tengah gedung bertingkat, rumah mewah, dan mobil berkelas, nyatanya potret kemiskinan masih jelas tergambar di sudut-sudut Kota Jakarta.

Mungkin hal itu pula lah yang ada di benak siswa SD di Koja berinisial S (14). Dia harus rela membagi waktunya antara belajar dan bekerja sebagai penyanyi di sebuah kafe malam di kawasan Tanjung Priok. Padahal, S sebentar lagi harus mengikuti ujian nasional (UN).

"Dia sudah bekerja di klub malam sejak 10 hari lalu. Setiap hari S berangkat pukul 21.00 WIB dan kembali ke rumah pukul 02.00 WIB. Paginya jam 7 dia sekolah," kata Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), M Ihsan saat dihubungi merdeka.com, Rabu (25/4).

Menurut orang tua S, Aminah (32) dan Taman (37) yang sehari-hari bekerja sebagai pengamen, pekerja itu adalah pilihannya sendiri. Mereka pun tidak melarangnya.

Dari pekerjaannya itu, S mendapatkan uang sekitar Rp 30 sampai 50 ribu. Saat merdeka.com bertandang ke rumahnya pad Rabu sore, orang tua S kembali menegaskan bahwa dirinya tidak pernah meminta S untuk bekerja.

"Saya tidak memintanya menjadi penyanyi cafe, tapi anaknya yang mau sendiri. Mungkin anaknya sendiri yang mau, melihat kondisi orang tuanya seperti ini," kata Taman kepada wartawan di rumahnya di daerah Kampung Beting Remaja, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Rabu (25/4).

Meski hidup keluarganya pas-pasan, Taman memiliki keinginan agar keempat anak-anaknya agar bisa sekolah setinggi mungkin.

"Bahkan saya pengen agar S bisa menjadi Polwan," kata lelaki yang sudah 20 tahun lebih tinggal di Kecamatan Koja.

Saat merdeka.com berkunjung ke rumah S, gadis yang kini tengah duduk di bangku kelas 6 SDN 13 Pagi Kecamatan Koja, tidak bisa menemui wartawan.

"Capek S-nya mas. Dari kemarin banyak wartawan yang datang ke rumah. Tadi pagi aja udah banyak orang TV yang datang," kata ibu S, Minah.

Taman yang sehari-hari bekerja sebagai pengamen ini juga berdoa agar anak-anaknya tidak bernasib seperti kedua orang tuanya. Untuk itu, lelaki yang mengamen sejak usia belasan itu berharap ada orang yang mau membantu pendidikan keempat anaknya.

Begitu mendengar kabar ini, Dinas Pendidikan DKI Jakarta langsung bergerak meminta adanya penyelidikan lebih lanjut soal latar belakang keluarga S.

"Saya sudah komunikasi dengan pihak kepala sekolah untuk bertemu dengan orang tuanya dan menanyakan soal pilihan kerja S. Atas inisiatif sendiri atau perintah orang tua," kata Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Agus Suradika, saat dihubungi merdeka.com, Kamis (26/4).

Agus mengaku kaget saat mendengar kabar ini. Disdik akan segera berkoordinasi dengan Dinas Sosial untuk menyelidiki masalah ini.

Agus berharap niat S bekerja ini bukan pula karena ada biaya-biaya tambahan yang dibebankan pihak sekolah jelang pelaksanaan ujian nasional.

"Kalau terbukti karena ada beban-beban biaya tambahan dari pihak sekolah saya tidak berpikir dua kali untuk memecat kepala sekolahnya," tandasnya.

Tidak ada komentar: